Menjelang akhir tahun 2022, mereka kembali hadir menuju pesisir Banda Aceh. Manusia Perahu namanya, sebutan bagi mereka Etnis Rohingya yang hidup di atas perahu karena terasingkan.
Tak diakui negara asalnya Myanmar, mereka pergi menuju tempat yang bisa menampung etnisnya. Indonesia, Malaysia dan Thailand di antaranya.
Bukan pertama kali, mereka memang tak tenang di negaranya, pilihannya pergi mencari suaka = mengungsi, tempat berlindung.
Menjelang kemerdekaan RI tahun 2015, aku berkesempatan menemui mereka. Kalau tidak salah, saat itu momen 1 tahun juga mereka ada di Indonesia.
Aku jadi ingat saar kunjungan ke Langsa saat itu. Barak-barak di beberapa wilayah dibangun. Kontribusi pemerintah, lembaga kemanusiaan serta pihak asing seperti UNHCR. Rumah semi permanen di kawasan Aceh Utara, Lhokseumawe, serta Langsa.
Tempat pengungsian dibagi berdasarkan gender, Laki-laki serta Ibu&Anak. Siang itu bersama teman-teman Relawan Dompet Dhuafa, aku diajak ke pengungsian. Hari itu jadwal mereka mengajar di tempat Ibu dan Anak.
Antusiasme anak-anak menyambut kehadiran kami. Ada Batita, Balita serta anak setara SD bersama Ibu mereka. Satu per satu mereka mulai menarik Relawan, ditariknya baju, tas, tangan kami pun dipegang erat.
Kami ajak mereka bermain, tak mau lepas. Hingga tiba saat kami harus meninggalkan lokasi, karena memang tak bisa terlalu lama di pengungsian.
Tanpa mengerti bahasa satu sama lain, isyarat tubuh menjawabnya. Mereka senang diperhatikan, haus bermain seperti anak umum seusianya.
Momen Dinas Bersama Walikota Langsa. Mengunjungi Barak Pengungsian. Profil Walikota Langsa. Akhir Juli – Agustus 2015, perjalanan Jakarta Medan lanjut jalur darat sekitar 3 jam menuju Langsa.
Komentar