Social Trip to Kupang

Selamat Datang di Kupang 



Menjelang akhir Januari 2016, mengawali perjalanan sosialku di tahun itu. Misi kami membuatkan Akta Kelahiran bagi anak-anak di kawasan Timur, salah satunya di Nusa Tenggara Timur, Kupang ini. Penerbangan jam 07.00, sesampainya di Kupang waktu sudah mengalami perubahan, hehe.

Rombongan karyawan yang berangkat belakangan naik kelas ekonomi, sementara Supervisi up sudah lebih dulu berangkat namun sampai belakangan. Ya, mereka transit lebih dulu. Jadilah kami menunggu rombongan kelas atas sampai, sekitar 50 menit di bandara sambil menunggu bagasi. Bawaan kami banyak, perabotan pengambilan gambar 5 tenteng, belum lagi ransel yang kubawa menggunung, maklum perjalanan selama 1 Minggu bagiku tak sesimpel ituh.. Kadang Campersku memakluminya, haha. Tapi tak jarang perabotan shooting masuk ransel supaya ringkas, jadi bisa terangkut bersamaan.

Sekitar jam 10.30 pesawat kami mendarat di Kupang, Bandar Udara El Tari. Bandaranya tidak terlalu luas, jarak ruang tunggu menuju pesawat dekat, bahkan kita bisa melihat jelas saat pesawat mendarat di parkirannya.

Rombongan kedua sampai, sedikit penyambutan dari kepala daerah Kupang, sebab kami bersama perwakilan UNHCR dan Istri Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, yang bekerja sama dalam projek 'Voice of Children Listen With Love'.


Makan Siang


Waktu sudah menunjukkan jam makan siang, jadilah kami singgah lebih dulu di sebuah restauran. Tempat kami makan universal, menu yang sudah dipersiapkan serupa prasmanan di nikahan versi Jakarta. Minumannya pun standar, ada jus, teh dan kopi. Tapi saya penasaran dengan Es Buah, seperti apa isinya ya?


Minuman ini pun membuat Mrs.Noor Sabah Nael Traavik penasaran 

"What's that?"

"It called Es Buah. Fruit Ice, contain mix fruit, sugar, ice, red syrup and condensed milk"

Belum puas dengan penjelasan, akhirnya beliau memesan juga, hehe.


Rumah Singgah Afghanistan




Perjalanan berlanjut mengunjungi rumah singgah pengungsi Afghanistan. Di sini Noor Sabah teringat masa kecilnya, tahun 1980-an beliau adalah salah seorang pencari suaka saat Afghanistan diterpa konflik.

Noor Traavik menceritakan, ia baru berusia 6 tahun saat perang memaksanya lari dari kampung halamannya. Meninggalkan masa kecilnya, terpisah dari teman-teman dan keluarga. "Melewati pegunungan, di bawah terik matahari, selama 12 jam, tanpa makanan dan air, menggendong adik lelaki saya yang masih bayi. Pengalaman itulah membuat Noor Sabah menjadi peduli dengan hal-hal kemanusiaan.


Cerita selanjutnya, pada momen berikutnya... ^_^


Komentar