Kalau kamu tahu bagaimana rasanya disakiti, sebisa mungkin dirimu tak akan mau menyakiti. Karena itu hal yang menyakitkan. Seperti melakukan kejahatan setelah dijahati. Kalau semua orang melakukan hal yang seperti itu, terus menerus dendam itu bergulir. Mengulang keadaan yang sama di masa yang berbeda.
Semua orang pasti punya rasa, pernah sakit hati. Begitu sulit untuk memaafkan juga akan menjadi bagian pertimbangannya. Bagaimana diri yang dilukai, teman, orangtuamu. Karena semua tidak terlepas dari perasaan yang terusik. Keegoisan muncul untuk tidak bisa memaafkan, sakit memang. Melihat sosok yang membuat kita teringat akan rasanya disakiti. Bagaimana sosok itu "merusak" lembaran ide-ide kreatif yang kau buat penuh perjuangan. Harapan-harapan indah yang sedang kau rencana rusak dibuatnya. Tumpukan kebahagiaan yang pelan-pelan tersusun (perlahan untuk bisa melupakan "mantan"), terciprati air kubangan yang dihempaskan dengan sengaja. Hal-hal yang tak terselesaikan, hanya karena sedikit "sobekan", merusak semua bagian.
Karena tidak mau bicara, akhirnya tercipta prasangka. Tak mau mendengar, tapi ingin didengar. Terasa adil? Melemparkan "tuduhan" tak berdasar, yang dari sisi kemanusiaan sebenarnya rugi dua pihak. Menahan keegoisan demi kemenangan?
Sementara kedua hati berbisik tegur, menahan sakit karena terluka. Luka yang dibuat sendiri.
Tak ada yang mengajarkan kesombongan, tidak seorang pun. Maaf pun menjadi sebuah kata "Abu-abu" yang seolah tak jelas maknanya. Ya, karena egois dan gengsi yang mendominasi.
Komentar