Ruang Setengah Nyawa

Sadarkah dia, atas semua rasa dari setiap pertanyaannya terhadapmu, bahwa dari setiap pertanyaan yang terus menghujanimu adalah seperti caranya "menghancurkan" percayamu terhadapnya. Sejauh langkah, perjalanan dan waktu yang terlewati, seharusnya bukan terlewati begitu saja.

Tersadarkah? Akan tempat yang dia tandai, ruang setengah nyawa yang hampa, sejak saat itu hidup dalam catatan. Meski tanda itu belum terlalu nampak, juga tak berani memberi warna yang jelas. Namun semuanya tertulis, dari hanya kata menjadi rangkaian kata, menyatu dalam kalimat yang tercerita. Tentu sebagai manusia, menyusun cerita itu terlalu tinggi menjadi suatu keberanian "abu-abu". Bukan hanya keberanian, keyakinan atau keajaiban, tapi soal takdir.

Kalau kita berani mengubah takdir, bahwa tidak ada orang yang dari sisi orang lain terlihat begitu miskin, bukan berarti dia jatuh selamanya. Kerena ada usaha dan do'a yang sedang Allah pinta, bukan hanya sekadar terdiam dan menunggu.

Perempuan dalam keadaannya, terlanjur menempatkannya dalam ruang setengah nyawa itu. Di saat nyawa lain ada, namun belum hadir di waktu ini. Apa berarti nyawa itu bukan saat ini? Tak berarti juga di masa lain?

Seperti yang tersebutkan, kalau itu bisa diubah atas apa yang manusia pikir sulit, tidak bagi Allah. Bahkan seekor hewan melata saja Allah beri rezekinya. Di saat Allah takdirkan dia sebagai sosok lemah dan kecil, namun mampu merasakan nikmatnya serangga yang datang kepadanya. Tersirat dalam QS.Hud: 6.

Itu soal rezeki, dari makhluk kecil yang terlihat tak bisa apa-apa. Bagaimana dengan manusia yang punya akal dan pikiran?

Kembali ke bait pertama, tentang kepercayaan. Satu hal kecil yang mampu menghancurkan semua, seperti mempertanyakan kepercayaan.

Jika tidak ada rasa dan percaya, tidak akan ada keyakinan untuk mempercayakan rasa. Maka tak perlu mempertanyakan kepercayaan itu, hanya dengan mempertanyakan apa yang sudah diketahui jawabnya. Karena rasa kita yang tahu dan tentukan. Kecuali jika dia hadir hanya untuk singgah dan menandai lewat luka hingga berlarut. Kenapa bukan dengan lukisan indah yang selamanya akan berkesan?

Hanya keberanian yang mampu menerimanya. Berbanding terbalik dengan keberaniannya datang, kemudian pelan-pelan menempati ruang setengah nyawa itu.

Tentang percaya dan kepercayaan, tanya hatimu (walau tak perlu ada jawaban), lihat dan rasakan.

Jika berkata "memilihmu tak perlu alasan", maka ini adalah alasan. Alasan untuk membuat luka dari apa yang diawali. Saat kau tanya bagaimana dirinya? Belum tentu dia baik-baik saja. Ada hati yang sudah dia beri sedikit luka, ada nyaman yang dia usik sendiri. Lalu membiarkannya terombang-ambing, tanpa membantunya ke suatu tempat untuk menjaga setengah nyawanya.

Komentar

Aryani Rahmadita mengatakan…
Ada apa dengan "hihi"? *dilarang jawab tidak ada apa-apa, atau jawaban yang biasa-biasa.

Maaf, Aryani baru membalas pesan Anda. Hahah ^^