Rasanya
tak ada yang lebih baik karena telah memilih naik sepeda motor, di tengah
kemacetan Ibukota yang sulit diterjemah dengan kata-kata menjadi kalimat.
Membayangkan saja rumit, apalagi merasakan berada di tengahnya. Ngga heran sih, begitu banyak produsen
motor baru bermuncullan. Beragam merek Jepang, Taiwan, China, kian mejaralela
di Indonesia. Begitu memikat hati calon pembeli, tinggal memilih sesuka hati.
Namun sayang, begitu mudahnya membeli motor
dengan Down Payment (DP) rendah,
membuat tak sedikit konsumen mengabaikan syarat yang harus dipenuhi. Kelengkapan
berkendara mulai dari Surat Izin Mengemudi (SIM) juga helm, masih saja ada yang melanggar. Terbukti dengan petugas yang
seringkali melakukan razia kelengkapan berkendara.
*
“Maaa... Paa... Berangkat ya..” selintas berlalu tanpa ada jeda untuk
keduanya mengiyakan, Aku langsung menuju garasi. Pikiranku singkat, harus
segera sampai di Kampus sebelum jam 7.25. Lewat dari itu, bayangan ketidak
lulusan mata kuliah Statistik ada di depan mata ku.
Menembus Pusat Jakarta, Perbatasan Jakarta, untuk sampai di Selatan
Tangerang. Itulah ang akan kulewati. Senin pagi, seperti biasa kemacetan terasa
sudah maklum. Asap kendaraan bermotor melukis langit pagi.
Tepat jam 7.15 motor sudah mendarat di parkiran bawah tanah. Langkah seribu
menuju ruang ujian.
“Fuihhh... Alhamdulillah sampai juga”
“Kenapa Lo Ra?”
“Gue bangun kesiangan, macetnya ngga ketulungan. Alhamdulillah mendarat
dengan segera”.
Tak henti berkipas dari kumpulan makalah yang akan segera dikuiskan. Nyaris
mendekati jam 7.25 Dosen masuk ruang ujian. Dua jam ke depan ujian berlangsung.
“Laaa... Engap gue. Tadi pagi
belum napas maksimal, Pak Robby udah
mendarat aja. Belum adem uda nyebar kertas soal aja. Untung aja gue ngga
sampai koleps”.
“Ahh lebai Lo. Yang penting kuis kelar kan. Trus Lo kayaknya aman sentausa
nih? Bakal dapet hasil memukau”.
“Aamiin lah... Semoga belajar gue
ngga sia-sia”.
“Aamiin...”
Lepas kuis rasanya semua tenang. Walau musti pakai adegan engap-engap kek ikan mangap-mangap, tapi
soal berhasil diselesain. Kuis berikutnya masih nanti siang, sampai menuju
waktu Zuhur masi ada napas-napas tambahan.
*
“Rin, ke Gramed yuk! Binder gue udah minta makan, tiris kertasnya nih”.
“Masuk lagi jam 2 ya?”
“Iyakkk. Yuk capcus dulu kita”.
“Emang Lo bawa helm? Helm gue Cuma satu”.
“Udaahh ngga usah pakai helm. Dekat ini juga”.
“Wah, ini nih. Emang Lo
Supergirl? Punya sayap buat menghindar dari kecelakaan? Ngga, gue ngga mau. Kalo kenapa-kenapa gue ngeri”.
“Ahh Lo, santai aja kali. Lagian juga
jam segini ngga ada petugas razia”.
“Ini nih, penumpang yang ngga
mikir keselamatan. Lo pikir helm Cuma
aksesoris pelengkap naik motor? Mau jauh dekat, yang namanya syarat kelengkapan
musti ada. Bukan Cuma sekadar melengkapi, tapi kan kita ngga tau di jalan. Bukan do’ain, tapi kalau tau-tau takdir motor
kesenggol motor lain di jalan, motor gue
miring trus jatuh. Lo apa kabar?”
Tanpa kedipan sedikit pun Lila memperhatikan. Sambil sesekali bibirnya
bergerak dengan raut yang panik, alisnya terangkat. Kecuekan itu pun berakir
dengan kekhawatiran yang jelas masuk akal. Ngga
lengkap, ngga boleh jalan.
“Iyes deh Ra.. Horor gue kalo
tau-tau di jalan kenapa-kenapa”.
“Naahhh... Baru sadar kan? Ngga
mau kejadian kan? Meding Lo cari helm
kalo masih tetep mau jalan”.
Perbincangan di taman terasa begitu tenang. Sebab masih terlalu pagi untuk
merasakan keramaian di fakultas. Terlebih ini Minggu tenang. Di saat beberapa
mahasiswa lagi tenang mempersiapkan ujian, kelas ku harus masuk untuk
menyelesaikan kuis yang tertunda.
Lima belas menit berlalu dari jam kuis. Mengingat masa tenang mau ujian, ku
putuskan untuk pulang dan istirahat. Sebelum kendaraan pekerja merayap, jangan
buang-buang waktu untuk segera pulang.
“La gue duluan ya.. Perjalanan
masih panjang nih, keburu orang kantor bubaran”.
“Okeh... Gue masih mau ke perpus
balikin buku”.
“Okai sampai ketemu ye..”.
Kondisi jalanan masih bersahabat. Masih bisa belok kiri salip depan, geser
kanan. Jalanan masih renggang dengan angkutan kota (angkot) yang setia memenuhi
beberapa sisi jalan, alias ngetem. Sementara itu yang membuat jalanan merapat.
*
“Prittt...” Sambil tangan Pak Polisi mengarahkan ke
pinggir jalan, memintaku berhenti.
“Pulang kuliah Dik? Bisa saya cek kelengkapannya?”
“Iya Pak, sebentar Pak” SIM, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) tak perlu
menunggu lama keduanya langsung kuperlihatkan. Sambil Pak Budiman S (begitu
namanya tertera di seragam), memperhatikan SIM dan STNK sambil satu per satu mengecek
bagian motor.
“Baik sudah lengkap, ini SIM dan STNK nya. Terima kasih karena adik sudah
menjadi pengguna motor yang baik. Lengkap dan rapi dalam berkendara. Selamat
melajutkan perjalanan.
“Iya Pak! Harus dong Pak. Kalau belum lengkap ya ngga boleh jalan. Izinnya aja belum ada, masa sudah berkendara”.
“Benar Dik, walau dekat sekalipun helm
harus selalu dipakai. Kalau berboncengan juga harus pakai helm. Supaya terlindungi, karena namanya juga lalu lintas kita ngga tau.
Obrolan bersama Pak Polisi seolah terasa hangat, di pinggir jalan dengan
hiruk pikuk yang ada. Untung aja tuh Pak Polisi ngga nyediain minuman kemasan, saking asiknya ngobrol sama pengguna
kendaraan bermotor yang diberhentikan sejenak. Kalau kejadian mah gue langsung nyodorin kamera, foto
bareng, upload pakai hastag #SantaiBersama #Polantas
#TertibBerkendara
Hahaha, era teknologi jadi bikin gatel buat posting segala macam aktivitas.
Yaa siapa tau kalau dengan ngeshare
bisa jadi bikin perubahan postif buat pembaca sosmed? Nah di situ peran sosmed
jadi sesuatu yang baik. Gue ngeshare tulisan ‘Satu Sore Bersama
Polantas’ lah, nyeritain gimana asiknya ngobrol sama Pak Polisi tentang
kesadaran tertib lalu lintas. Bahkan sedikit curcol Pak Polisi perihal
aktivitasnya di jalan raya, yang kalau diceritakan bisa panjang lebar.
*
“Assalammu’alaikum...” sambil mencari keberadaan si Mama di dapur. Jam 5
sore biasanya agenda buat camilan si Mama.
“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang Ra.. Katanya mau pergi dulu?”
“Ngga jadi Ma, tadi rada kelamaan
di jalan ada razia”.
“Kamu ngga bawa kelengkapan?”
“Bawa dong. Kan namanya juga tugasnya Pak Polisi. Semua juga diperiksa,
sambil dinasehatin juga. Malahan tadi Pak Polisinya sempat curcol jadinya.
Nyeritain suka duka tugas di jalan”.
“Heheee... Yaudah sana cuci tangan, nih mama buat pukis buat kamu ngemil.
Oh iya, tadi pagi kamu langsung kabur aja, Mama ngga sempat ngasih uang harian, buat isi bensin”.
“Tenang, terakhir ngisi bensin hari Jum’at masih aman tuh motor. Si Unyu
mah memang bisa diandalkan. Di setiap waktu dan kesempatan. Tarikan oke, bensin
irit. Sampai besok juga masih aman kayaknya nih. Sini uangnya”. Sambil
menggapainya dari tangan si Mama, kecup pipi.
“Hahhh dasar kamu, disikat juga”.
Bersyukur juga dapat warisan motor dari kakek. Usia motor boleh tua, tapi
tampilan sama kekuatannya ngga kalah
sama motor-motor baru. Di Era nya, dia berjaya. Tapi sampai saat ini pun, mesin
motor tetap tangguh, suku cadangnya masih tersedia.
Modelnya yang jadul, tak berarti merapuhkan kekuatannya. Si Unyu sudah
sempat sampai ujung Jakarta. Beriring sama truk dan kontainer, Si Unyu terlihat
manis di antara keduanya. Ini yang namanya jatuh cinta, sama-sama saling
mengerti dan memahami. Alhamdulillah kalau Si Unyu lagi demam, alias ngadat
sedikit, ngga pas di waktu terbatas. Telat
berangkat masih bisa keburu, ketemu dosen pembimbing, nganter teman ke Stasiun
Kereta Luar Kota biar ngga terlambat keberangkatan
buat pulang ke kampung halaman, bahkan sampai ketemu sidia biar tepat janji,
hehe...
Ngga cuma keren berkendara, tapi kita juga musti keren
berlalu lintas. Kelengkapan berkendara, surat-suratnya, patuhi lalu lintas yang
berlaku. Kalau kita patuh semuanya ngga
sulit kok. Petugas juga ngga
sembarang nyetop saat kita berkendara. Semata-mata bukan iseng, tapi sambil
mengedukasi pengguna kendaraan bermotor. Agar tertib lalu lintas, guna
keselamatan si pengendara juga.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Komentar