Sejak kesalahpahaman Minggu lalu, Kami tak lagi saling menyapa. Meski tergabung di dalam grup kajian dan sama-sama muncul ke permukaan, tapi Kami saling berdiam. Jelas ini bukan keadaan yang baik-baik saja. Kami "berpisah" karena selisih paham yang mungkin bagianya tak bisa dibantah lagi. Terus terang aku sedih. Tapi kekuatan hati menahanku untuk berontak, bahkan cenderung mengalah. Rasa yang sama seperti saat bersama Iman. *kisah sebelumnya yang berujung pada ketidakpastian
*
Akhir-akhir ini di media massa beredar informasi terkait paham baru yang beredar di Irak dan Syiria. Sebuah video di Youtube berisi ajakan menjadi anggota mempeloporinya. Terlebih ajakan itu disampaikan oleh seseorang yang fasih berbahasa Indonesia dan memang orang Indonesia.
Video lain menggambarkan anarki. Perusakan makam Nabi karena dianggap telah dijadikan tempat pemujaan. Membawa nama Islam, tapi batinku berbisik "Islam tidak seperti itu". Bisikan ini pun mengawali "perselisihan" dengan Fandy. Setelah sebuah simbol bertengger di profil picture whats appnya.
"Kamu pro? Di media lagi mengemuka tuh. Ya Hak sih." telisikku.
"Apa salah menegakan hukum Allah? Sesuai syariat?"
Tanpa menunggu lama, rentetan referensi Fandy kirim. Berikut riwayah-riwayah yang sejujurnya membuatku lelah membacanya. Dia terasa begitu mahir dan cekatan. Tak butuh waktu panjang untuk menjabarkannya. Detik itu juga Aku merasa dia menjadi sosok yang berubah, seperti bukan dirinya.
Seorang teman di negeri Iran membuatku teringat. Kucari tau ada apa dengan Paham itu, di Indonesia sedang hits. Aisya lalu bercerita. Rekan Kakaknya di Irak menjadi korban pembubuhan kelompok tersebut. Istri berserta anaknya turut dibunuh, saat keluarga itu sedang melakukan ziarah. Ya Allah Aku terkejut. Rilis pun Aisya lampirkan, berita meninggalnya rekan Kakaknya itu.
Aku menshare Fandy, sekadar bercerita dari orang yang memang mengalaminya di sana. Bukan semata-mata menjatuhkan apa yang ia anggap benar. Sesaat kemudian maksud itu berbuah "pahit".
"Apa lagi yang mau kamu share? Tunjukkan kebencianmu." Aku membaca nada "marah" Fandy.
"Ada yang menyatakan kebencian? Aku hanya share dari teman yang memang ada di sana."
"Mungkin kamu dan temanmu yang benar. Wallahu alam."
"Ngga ada yang nyatain Kami benar. Semua pun menegakkan Hukum Syariat, hukum yang dibuat Allah. Tidak ada yang mengajarkan kebencian. Agama kan melarang yang berbau kekerasan dan membunuh. Aku pun ngga fasih, belajar dari satu dan lainnya." Prasangka Fandy membuatku mampu mengatakan apa yang sangat membisik.
Hampir selalu, di setiap kesempatan Fandy mematahkan apa yang Aku sampaikan. Prasangkanya terlalu menyakiti. Sementara di antara Kami belum tau siapa yang benar?
Sejak saat itu pun tak ada lagi percakapan. Terlalu sedih Aku merasakannya. Niat baik dan harap yang tulus berubah jadi persepsi yang berbeda. Aku hanya ingin Fandy berada pada jalan yang benar, entah apa itu pilihannya.
Jika menyakiti itu dibenarkan, apa Fandy memilihnya?
Percakapan yang dianggapnya perdebatan dan perbedaan karena salah satu tidak mau menerima penjelasan pun berakhir gantung. "Pilihan dan keyakinan ada di masing-masing orang".
Mungkin Kami butuh waktu, bisa saja perlu renungan. Bukan salah atau benar, tapi yang tepat.
Sejak saat itu Kami berpisah. Meski terlalu besar rasa perduli yang berujung rindu setengah hati.
Komentar