Tak ada yang lebih kunanti dari balasan akan kegundahan dalam percakapan kami.
Sudah hampir dua hari kondisi ini tak membuatku nyaman. Tak ada pula jawaban darinya.
Tepat sehari setelah dia pergi tanpa kabar.
Aku merasa ada yang hilang dan menghilang.
*
"Kapan pulang?" aku hanya sekadar ingin tau.
"sudah di Jogya." singkat Fandy.
"cepat banget sudah pulang aja. Naik apa dari mana? Ngga bilang-bilang?" batinku seolah meratapi.
Tak ada bisa langsung kuucap, hanya terdiam menerima keadaan. Fandy pergi tanpa mengabari.
Pernyataan terakhir pun tak ada jawaban.
Yaya, aku sadar, kami memang hanya (baru) teman. Teman yang terwakilkan.
Teman yang selalu ada di beberapa kesempatan, bahkan tak ada yang tau saat kami bersama.
Sementara mereka mencari keberadaanku, di saat itu aku bersamanya.
Tapi cukup aku yang tau, sebab ini memang hanya ketidaksengajaan.
*
"hellooo ada orang ngga sih?" tak juga aku mendapat jawaban.
Detik demi detik berlalu, jam, hingga berganti hari. Pesan berikutnya yang masih kucoba tanya juga tak terbalaskan.
Soal materi foto yang dibawanya, memori card, serta beberapa properti keperluan EO.
Sementara status whats app nya jelas-jelas menerangkan 'online'.
Mungkinn, aku berhenti sampai di sini (sejenak). Maksud baik mungkin tak selamanya terasa baik, padahal itu benar.
Aku hanya ingin mengulang perkataannya, menjadi pribadi yang tak sepi.
Itulah Fandy. Di balik sisi sepi ada ramainya.
Namun menjadi begitu mengganggu saat dia terdiam.
Diam dalam arti sebenarnya, atau diam karena terganggu.
Komentar