Semuanya berawal dari "skenario" yang Aku buat sendiri. Dari awalnya hanya iseng, coba-coba, berakhir dengan sisa goresan.
Aku Raisa, yang terbiasa dengan kesunyian, namun sangat menikmati keramaian. Bersama Kamu dan Kalian, Aku ada. Berbagi kisah, rasa, suka dan duka, apapun itu. Semua itu berbanding terbalik, saat Aku mengenal Irwan. Tak ada satu pun kesamaan di antara Kami. Jika di dalam keluarga, Aku sangat mengutamakan tata krama, Irwan hidup bebas tanpa syarat. Itulah yang ku dapat dari sekian kali perjalanan Kita.
Perjalanan? Ya, kebersamaan ini bermula dari sebuah tumpangan. Jarak tempat tinggal yang searah, membuat sekali-dua kali-seringkali Aku bersamanya. Bagiku itu biasa, sama seperti teman pada umumnya. Sebab kembali di percakapan awal, bahwa Kami berbeda.
Beberapa bulan hingga berbulan-bulan. Kebersamaan itu semakin dekat. Begitu banyak hal yang Aku tau darinya. Sebagian besar adalah keburukan. Rasanya tak ada positif, kecuali kebaikannya untuk bisa ditebengi.
Perempuan macam apa? Mungkin seloroh Kalian begitu. Tapi perlu Kalian ketahui, awal dari kebersaan ini dimulai dari Irwan. Satu kali Irwan menawarkan tumpangan, kebetulan saat itu hujan begitu derasnya saat pekerjaanku baru saja selesai. Tawaran Irwan menarik, meski awalnya sempat Aku tolak. Begitu banyak "resiko" jika harus pulang bersama seorang laki-laki yang bukan "pasangan". Salah-salah ada yang marah, habislah Aku.
Usut punya usut, Irwan berstatus single. Tapi kesingleannya tdak membuatku tertarik. Dia lebih pantas Aku anggap seorang Abang, meski terkadang dalam kesempatan lain kenyataan berkata lain.
Perjalanan pulang Kami pun terasa sangat kosong. Yaa, tak perlu ada pertanyaan atau sapaan. Bagiku cukup dia menurunkanku di tempat biasa. Sepanjang jalan pun Aku lebih tertarik memandangi layar ponsel sambil mendengarkan musik. Mungkin Irwan mengiraku tak sendiri, tak perlu juga Aku mengatakannya. Terkadang, sekadar basa-basi, Aku sesekali bertanya "diem aja mas?" Jawabnya pun standart "engga papa, lagi ngga pengin ngomong."
Kalian bayangkan sendiri, sepanjang jalan sekitar satu jam hanya kosong. Sepertii ojek memang, tapi itulah kenyataan yang Aku rasakan. Tak pernah juga bermaksud menyalahgunakan kebaikan Irwan. Sisi Devil ku seolah menguji, seberapa jauh dia mampu bertahan.
Lama kelamaan Aku menikmati "kejahatan" ini. Irwan ada di genggaman, dia berada dalam pilihan yang salah. Matanya tak mampu berbohong, ada rasa yang ia sembunyikan. Saat ada kesempatan, dia selalu mencoba ingin mengatakan sesuatu, tapi Aku selalu menghindar.
Satu kali Aku menantangnya, saat dia ingin sekali bicara. "Boleh ngomong jujur ngga?" Tanyanya dalam sebuah pesan singkat di suatu malam, usai Kami mampir makan saat pulang tadi. Tanpa perlu menanyakannya, Aku tau apa yang ingin Irwan katakan. Namun Aku tetap "menantangnya". Tapi dia urung "ngga jadi deh." Pernyataan itu pun muncul lebih dari sekali, tak juga dia mengatakan apa yang dia sampaikan.
Batinku hanya bisa menertawainya. Sebab tak ada rasa yang lebih yang bisa ku beri. Terlalu banyak perbedaan di antara Kita, terutama keluarga. Bukan Aku terlalu cuek, tapi Kami memang berbeda. Terlalu berat jika Kami berdua mencoba masuk ke posisi satu sama lain. Dari situ Aku menolak semuanya, namun jahat karena tidak melepaskannya. Hingga pada akhirnya, Aku memutuskan "pergi", menghindar darinya. Semua ini demi kebaikan masing-masing.
Aku bersyukur bisa membawanya ke jalan yang lebih baik. Dia peminum, perokok berat bersanding dengan kopi hitam. Satu hal saja buruk bagiku, ketiganya ada dalam dirinya. Kedekatan dengan Tuhan pun dia abaikan. Nyatalah bukan seorang pilihan. Terlalu banyak "PR" jika Aku harus mengubahnya, bukan porsiku.
Kepergian ini membuatku sedikit lega, meski pada beberapa kesempatan Aku masih suka menghubunginya. Tak lain karena soal kerjaan. Kemudian semuanya berubah menjadi pilu.. Sebuah kabar pernikahan Irwan yang Aku dapat dari seorang teman. Seketika, saat itu juga tanganku panas, seluruh darah rasanya mencapai ubun-ubun, kemudian tubuh ini terasa dingin.
Apa ini Tuhan? Tiba-tiba saja Aku menangis. Napas ini terasa begitu sesak menekan.
Lalu untuk apa Aku menangis? Sebab Aku yang melepaskannya.
Dia tak mengundang, Aku juga tidak menanyakan. Hingga sekitar dua hari menuju pernikahannya. "Mau nikah ya? Selamat ya.. Akhirnya ketemu juga. Alhamdulillah" dia pun membalas begitu cepat "Terimakasih, Alhamdulillah, hehe" Tapi Aku merasakan jawaban yang tak sempurna. Saat itu juga tak ada undangan atau mengundangku. Lelaki macam apa dia?
Hari demi hari Aku mencoba melewatkannya, namun mengapa kembali kepadanya. Seperti merasa sedih amat dalam, tak bisa melepaskan. Sampai kesadaran mengalahkan kebodohanku. Bangun di malam hari, bersimpuh dihadapan Tuhan. Air mata tak hentinya tercucur, sesenggukan dalam kesunyian.
"Aku harus melupakannya Ya Allah..
Terimakasih telah menyadarkanku, mengembalikanku ke jalan yang benar.
Lepaskan dia dari ingatanku, semua tentangnya"
Allah menjawab semua do'aku, melepaskannya dari ingatku, bahkan kini Kami tidak saling mengenal. Sebuah kecelakaan membuat memori ingatanku hilang. Lebih dari satu bulan Aku terbaring, sempat tak sadarkan diri selama satu Minggu. Melewatkan hari pernikahannya, menutup mata dan pendengaran mengenai berita kebahagiaan itu. Tak ada seorang keluargaku yang tau. Hanya rekan kerja yang begitu bijaksana, bisa menyimpan apa yang mereka lihat dan rasakan. Sebagian berkata "Ada hati yang tersakiti, dikhianati."
Lebih dari setahun kemudian, Aku mulai mengingat memori lalu itu. Saat otakku bekerja terlalu cepat, memaksa mengingat masa lalu, Irwan pergi dalam kedamaian karena sakitnya.
"Kesalahan adalah telah membukakannya pintu dan membiarkan masuk.
Namun tidak menutupnya. Hingga dia pergi tanpa kata."
* Kisah di Persimpangan *
Komentar