Hidupmu bebas, sebebas udara berhembus? Tidak juga. Saat ini polusi begitu dahsyat menyelimuti lingkungan. Udara dengan banyaknya kendaraan bermotor, beragam asap entah itu bakaran sampah, transportasi, pabrik, asap rorok, hingga limbah yang bereaksi menghasilkan asap. Apa iya? Bisa saja.
Bebas, melakukan apa yang disuka, menolak apa yang tak disuka. Secara teori itu memungkinkan, tapi faktanya, syarat dan ketentuan tetap berlaku. Buat aku yang (masih) keturunan Jawa, hal itu seolah menjadi pertimbangan yang dimungkinkan. Artinya? Sulit pula aku menjelaskannya. Intinya, sebagai seorang anak dan juga calon ibu, yang berarti akan punya anak juga, hal-hal yang masih dianggap sakral ini cenderung masih kuat dipertahankan.
Seperti... Akan perempuan harus sesuai pada porsinya. Menjadi bagian di dalam rumah tangga. Katanya sih, penilaian sebagai calon istri tu.. Yaya, benar kok, ngga salah.
Tapi ada kalanya, kita, sebutlah di sini gadis, menjadi bebas itu bisa dipilih. Tentu tidak bebas sebebas-bebasnya. Ada aturan dan pegangan Agama yang kuat, itu versi saya.
Tapi wejangan orangtua, seolah menjadi rujukan tertinggi dalam tata krama yang tidak ada aturannya. Kenapa ku bilang begitu? Sebab aturan keluarga itu cenderung muncul turun-menurun dan menjadi keluar batas bila ada yang melanggar.
Siapa yang salah? Yang melanggar? Ataukah aturan yang seharusnya mengikuti keadaan saat ini? Tentu (maaf) orang dulu memilih yang melanggar yang salah. Jadilah disalahkan #Ehh curcol. Ya mau bagaimana, di era modern seperti ini dan dilahirkan di masa yang jauh berbeda ini, membuat semua perkembangan mendukung terjadinya perubahan. Termasuk soal tradisi.
Bukannya hilang atau ingin menghilangkan, tapi aku tau seperti apa. Tapi ya.. Lagi-lagi.. Tetap saja yang muda salah.
Baiklah... Aku tau semuanya, seperti apa dan bagaimana. Tapi mohon tidak dengan menekan atau memaksa apa yang (maaf) aku anggap janggal dan terlalu bersifat tradisi. Dengan begitu, aku pun tau bagaimana menghargai nilai-nilai itu sendiri.
Komentar