Izinkah Aku Bernapas Lega

Hari-hari begitu terasa memenatkan, dengan ragam aktivitas yang seolah tak dapat dipungkiri, bahwa ini adalah jalan menuju "kesuksesan". Apakah sebuah "kesuksesan" dengan nafas yang begitu tersengal, langkah berkelok yang terlalu banyak kerikil serta lemparan batu dari sekitarnya, juga tatapan yang rabun atau sosok yang membutakan.

Bukan "kesuksesan" yang sehat. Hanya suatu jalan untuk menutupi lubang jalanan beraspal, serta bongkahan jalan yang terpecah, itu awalnya. Tapi lambat laun persembunyian itu begitu melelahkan, hanya untuk mendapat suatu pengakuan. Menghormati dan menghargai itu penting, melampaui apa yang diinginkan. Tapi ingatlah dengan keadilan, dari apa yang dimulai maka akan berakhir sebab apa yang dilakukan.

Saat nafas begitu sempit, untuk sekadar menghirup oksigen yang tentu tak murni, mungkin pula sudah tak sehat. Namun aku berusaha bertahan dan "menikmati"nya, meski pada kenyataannya ssungguh menyakitkan dan sangat menderita. Seolah menangis, tapi tak ada butiran yang terjatuh karena begitu sakitnya.

Aku memang bukan orang pintar, meminta apa yang terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Dari situ aku pun tak pernah begitu berlebihan dan sok tau, daripada salah dan terlihat bodoh, lebih baik diam. Ada pula merasa pintar tapi pada nyatanya bodoh, menggiring ke arah yang salah dan tidak bisa memperbaiki kesalahan.

Aku hidup bukan untuk itu, tak pula membiayai hidup, tidak pernah juga merepotkannya. Melangkah di jalan sendiri, mencari tau apa yang harus dan tidak dilakukan. Menjaga hati dan perasaan, belajar dari kesalahan, bukan melakukan kesalahan yang sama tanpa pula memperbaikinya.

Komentar