161210, Selamat Jalan Kiko

Hhhmm... Setahun sudah Kiko pergi meninggalkan bumi. Masih teringat sampai sekarang, suara "tawa" nya, minta diperhatiinnya, marahnya, rantai yang terikat di kakinya. Dan yang terakhir itu, masih teringat jelas dalam ingatan, bagaimana rantainya berujung pada perginya Kiko, sedih...

Malam 141211, Kiko teriak dan "meminta tolong". Kubuka pintu samping, berusaha menolongnya. Tapi paruhnya begitu kuat ingin menggigit, aku pun tak kuasa. Kudiamkan, tapi rintihannya begitu keras, tak sanggup mendengarnya. Ketika kulihat perlahan, darah menetes dari arah rantai yang mengikat kakinya. Dan secara perlahan bersama abangku, membuka lilitan rantainya, namun darah terus mengucur, tak bisa aku mengehentikannya, mencoba membalutnya, tapi paruhnya terus ingin mematuk.

Kiko masih bertahan dengan darah yang mengucur, hingga esok paginya. Sempat tak mau makan, hingga mama menyuapinya, ia pun sangat terlihat kelaparan. Semalaman penuh menahan sakit dan perih, kakinya pun, ternyata patah. Maaf Kiko...

Tak juga Kiko dibawa ke dokter, menganggap itu hanya luka biasa. Sampai esok harinya 161210 seluruh klinik terdekat kucari dan menghubunginya. Pergilah kami ke Klinik di kawasan Bukit Nusa Indah. Dokter memastikan kaki Kiko patah, dan tak bisa diselamatkan. Dokter memberikan semprotan anti semut, mengompres kakinya.

Pulanglah kami, menukar resep dengan obatyang dirujuk dokter. Semacam multivitamin anak, penambah glukosa. Siang itu, nafsu makan Kiko pun berkurang, hingga berhenti makan. Saat itu tubuhnya seperti terombang-ambing, tidak diam, gemetar. Sedih aku melihatnya. Kiko berusaha berpindah dari keranjang tempat ia diletakkan. Sayapnya terus mengepak, namun ia tidak terbang. Mungkin puluhan tahun terkekang membuatnya lupa bagaimana terbang.

Magrib pun berlalu, kepakkan sayap masih terdengar. Aku menengoknya, mengelus bulunya yang putih ternoda dengan darah dari kakinya. Aku meninggalkannya. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar kepakkan yang lain, aku kembali melihatnya. Dan... Apa yang kulihat, malaikat sepertinya mencabut nyawanya. Sayapnya mengangkat tinggi, kemudian turun perlahan, Kiko pun terdiam.

Ceesss... Menangislah aku. Kiko pergi. Kupanggil mama, dan bilang:
A: mah, kakak mati

Kami berdua mendatanginya, dan melihat tubuhnya terbujur kaku. Kiko pergi untuk selama-lamanya. Azan Isya pun mengiringi kepergiannya. Singkat sekali. Belum 24 jam dokter meyakinkanmu bisa bertahan hidup, tapi Allah berkehendak lain.

Esok paginya, bapak membungkus Kiko dengan kain, kemudian menguburkannya di tanah halaman depan. Mama pun menangis, begitu juga aku. Kiko memang hanya seekor burung, puluhan tahun yang kami lewati bersama, seolah menjadikan Kiko bagian dari keluarga. Kakak dalam wujud lain.

Selamat jalan Kiko...
Maafkan atas kesalahan selama kamu bersama kami.

Komentar